“Wealah Pak kok malah duduk-duduk!Emangnya sudah gak ada kerjaan po?”,keluhan sang istri.
“Ya…mau gimana lagi to Bu,wong pekerjaan di sawah sudah selesai dari kemarin,ya sekarang bapak lagi gak ada kerjaan”.
“Kalau bapak emang dah gak ada kerjaan lagi,mendingan bapak pergi ke warung kita saja! Kan bapak juga tahu sendiri kalau pohon di belakang warung kita semakin hari semakin besar saja, Ibu kuwatir kalau suatu saat pohon itu roboh dan kena warung kita”.
“Benar juga ya Bu, lagian kan pohon itu sudah gak ada yang punya”.
“Ya sudah,tinggal apa lagi,mendingan bapak ke sana dulu!”
“Kalau begitu,bapak pergi dulu ya Bu,eh sekalian tolong ambilkan kampak di dapur!”
Sambil membawa sayurpun langkah sang ibu membawanya ke dapur.
“Ni Pak kampaknya,tapi hati-hati ya Pak,” pesan sang ibu.
Langkah Pak Hamid yang diiringi hembusan angin dan panasnya terik matahari, tetap menunjukkan semangatnya untuk merobohkan pohon besar itu.
“Mau kemana to Pak kok bawa kampak segala?”, teguran tetangga yang mengagetkannya.
“Wealah Pak Ahmad to? Bikin jantungan saja! Gini Pak, saya mau ke kampung sebelah. Kebetulan saya punya warung di sana, dan di belakang warung saya ada pohon besar.Nah saya bawa kampak ini buat nebang pohon itu”.
“Kalau begitu boleh kan kalau saya bantu?Soalnya kan bapak juga tahu sendiri kalau saya ini cuman pengangguran”.
“O......boleh-boleh saja tapi kok malah jadi ngrepotin”.
Dengan yakinpun Pak Ahmad menjawab,”Gak kok Pak malah saya seneng bisa bantu bapak”.
Melihat pohon di belakang warung Pak Hamid,Pak Ahmad jadi gugup.Dalam hatinya Pak Ahmad berkata,”Ternyata pohonnya gedhe banget!saya kira cuman pohon biasa”.
“Ada apa Pak,kok kelihatannya bapak jadi gugup gitu!Bapak masih mau bantuin saya kan?”
“I.....I.....ya Pak saya masih mau bantuin bapak kok”.
Pukulan kampak ke pohon besar itu terdengar amat keras.Penduduk sekitarnya hanya bisa mengerjakan pekerjaannya masing-masing.
Keluhan Pak Ahmadpun mengagetkan Pak Hamid,”Maaf Pak, Bapak seperti dengar suara tangisan gak Pak?”
“Ah mungkin itu hanya halusinasi bapak saja”.
“Tapi coba deh Pak, Bapak dengarkan baik-baik! Sepertinya berasal dari pohon ini.”
Bunyi tangisan yang semakin lama semakin keras membuat Pak hamid menghentikan pekerjaannya merubuhkan pohon besar yang ada di belakang warung Pak Hamid. Pak Ahmad yang berdiri di samping Pak hamid, ketakutan karena tangisan pohon itu. Anehnya setelah Pak hamid menghentikan pekerjaannya, pohon itu berhenti menangis.
Dari pohon besar itu, sebelum ditebang sempat bersuara,“Jangan tebang aku, bahaya akan datang padamu!” Tapi sayangnya suara pohon itu tidak merubah niat Pak Hamid untuk merobohkannya.
“Kenapa hanya bengong? Pekerjaan kita belum selesai,” kata Pak Hamid.
“Tapi apakah kamu tidak mendengar tangisan yang berasal dari pohon yang kamu tebang?” tanggapan Pak Ahmad. Pak Hamid duduk terdiam sambil melihat pohon yang ditebangnya.
“Mungkin kalau kita lebih cepat menebang pohon ini, pasti pohon ini akan berhenti menangis,” kata Pak Hamid kepada Pak Ahmad. Pak Ahmad hanya bisa melihat Pak Hamid yang masih berjuang merobohkan pohon besar itu. Setelah pohon besar itu roboh, ternyata benar apa yang dikatakan Pak Hamid. Pohon itu berhenti menangis. Tapi hal yang tidak diinginkan terjadi pada Pak Hamid. Kakinya terkena kampak dan banyak mengeluarkan darah. Melihat kejadian itu, tanpa ragu-ragu Pak Ahmad lekas membawa Pak Hamid ke rumah sakit.
“Maaf Buk, suami Ibu kecelakaan waktu menebang pohon di belakang warung Ibu, kakinya patah terkena kampak,” Pak Ahmad memberi tahu istri Pak Hamid.
Istri Pak Hamid berkata dengan gemetar, “Apa??? Apakah dia baik-baik saja??? Sekarang dia ada dimana???” Sambil mendengar tangisan istri Pak Hamid, Pak Ahmad pun menjawab, “Istighfar Bu, suami Ibu tidak apa-apa dia baik-baik saja, hanya .....” Sebelum meneruskan kata-katanya, istri Pak Hamid sudah memotong pembicaraan Pak Ahmad, “Hanya ...?!? Hanya apa??!” Pak Ahmad melanjutkan kata-katanya, “Hanya ....? Ah lupakan saja, Bu! Mendingan Ibu lihat sendiri kejadian sesungguhnya! Mari Ibu ikut saya!” istri Pak Hamid hanya bisa menuruti kata-kata Pak Ahmad.
Melihat keadaan Pak hamid di rumah sakit, istri Pak Hamid tiba-tiba jatuh pingsan. Sudah berjam-jam Pak Ahmad menunggui istri Pak Hamid yang dari tadi belum sadar-sadar juga. Dalam hati Pak Ahmad berkata, “Kasihan juga keluarga Pak Hamid, mereka harus menanggung cobaan ini berdua, karena anak-anaknya jauh dari mereka.” Akhirnya pun Pak Ahmad melihat istri Pak Hamid sudah sadar. Sebelum pulang, Pak Ahmad berpamitan pada istri Pak Hamid, “Bu, karena waktu sudah sore, kebetulan di rumah juga banyak kerjaa, saya mau pulang dulu. Mungkin besok atau lusa saya akan kembali.” Istri Pak Hamid pun menanggapi, “sebelumnya terima kasih ya Pak, karena tanpa Bapak mungkin suami saya terlambat dibawa ke rumah sakit.”
“Sama-sama Bu. Kita kan tetangga, jadi gak ada salahnya kalau kita saling membantu.” tanpa berpikir panjang Pak Ahmad pulang. Dalam perjalanan pulang Pak Ahmad ingat, kalau kampak Pak Hamid masih ada di bawah pohon besar itu. Tanpa ragu-ragu pun pak Ahmad mampir ke pohon itu untuk mengambil kampak milik Pak Hamid.
Di tempat pohon besar itu berada, Pak Ahmad kaget saat melihat pohon besa itu masih berdiri tegak. Padahal jelas-jelas tadi ia melihat dengan mata kepalanya sendiri pohon itu sudah ditebang oleh Pak hamid. Kejadian itu membuat Pak Ahmad jadi penasaran dan bertanya-tanya. Dalam hatinya ia berkata, “Kenapa? Kenapa bisa begini? Pohon ini benar-benar menyeramkan. Dulunya bisa bicara, menangis bahkan sekarang walaupun sudah ditebang, bisa berdiri lagi? Apakah saya salah tempat? Ah sepertinya gak mungkin. Karena jelas-jelas kampak Pak Hamid masih di sini dan warung Pak Hamid ada di belakang pohon besar ini???” dengan ragu-ragu Pak Ahmad bertanya kepada salah seorang penduduk yang kebetulan sedang menyapu di depan halaman rumahnya, “Maaf bu, kalau boleh tahu, ini pohon yang tadi ditebang Pak Hamid atau bukan ya Bu?”
“Memang benar Pak. Pohon ini tadi yang ditebang oleh Pak Hamid, salah seorang penduduk sebelah yang kebetulan mempunyai warung di sini.”
“Tapi kalau boleh tahu, tadi kan Ibu juga lihat sendiri pohon ini sudah ditebang dan kenyataannya berbeda kan? Sekarang pohon ini masih berdiri tegak!”
Pak Ahmad terus bertanya-tanya dari sang Ibu itu pun tidak lelah menjawabnya.
“Memang Pak, penduduk sini dan dulu tak ada seorang pun yang berani menebang pohon itu, karena selain pohon itu bisa berdiri kembai, pohon itu juga bisa berbicara, menangis bahkan marah apabila ada yang mengganggunya.”
“Coba Bu, jelaskan tentang pohon besar ini, kok saya malah jadi bingung sendiri.”
Cerita demi ceritapun telah diceritakan oleh Ibu itu. “Makasih ya Bu, atas penjelasannya! Kalau gitu saya minta pamit aja.”
Setelah disimpulkan, cerita Ibu itu juga sangat menyeramkan dan misterius. Ternyata di kampung yang Bapak Hamid tempati sebagai warungnya, adalah kampung yang mempunyai kepercayaan pribadi dan histeris.
“Semua penduduk di sini tidak ada yang berani menebang pohon itu. Karena barang siapa yang menebang pohon itu akan celaka. Entah celaka fisik maupun rohaninya. Maka dari itu pohon besar ini diberi nama oleh penduduk sebagai pohon ‘Randu Alas’, yaitu pohon besar yang ada di tengah-tengah kawasan penduduk,” begitu kata-kata Ibu itu yang diingat oleh Pak Ahmad.
Semenjak kejadian itu, pohon besar itu dibiarkan tetap abadi. Karena pohon itu tidak akan mengganggu apabila tidak ada yang mengganggunya. Dan sekarang di bawah pohon itu tedapat sumber air yang digunakan oleh penduduk sekitar untuk mencuci dan sebagainya.
No comments:
Post a Comment