Hiruk Pikuk Kota Jogja

Hiruk pikuk Kota Jogja agaknya dimulai ketika kusudahi serangkaian ibadahku subuh hari ini. Seperti Minggu pagi biasanya, aku hendak berlari pagi di taman dekat tempat kost. Sangat suka kulakukan aktifitas seperti ini. Menikmati indahnya Jogja di waktu pagi yang berhiaskan siluet dari balik gedung-gedung pencakar langit dan dihujani embun segar belum berpolusi. Menjadi saksi akan kebesaran Illahi. Meski aku hanya sendiri karena kawan-kawanku selalu saja pulang kampung setiap akhir pekan. Sedangkan aku, hanya pulang ke rumah setiap libur panjang saja. Maklum, tak ada ongkos untuk itu.
Aku memang berasal dari keluarga yang sangat sederhana di daerah Temanggung. Aku anak sulung dari 2 bersaudara. Adik perempuanku masih duduk di bangku SMP. Ialah yang membantu orang tuaku mengolah sawah dan mengurusi toko kami selama aku menimba ilmu di salah satu universitas di Jogja ini. Aku sangat bersyukur Allah memberiku kecerdasan sehingga bisa mendapatkan beasiswa melanjutkan ke perguruan tinggi. Dan aku juga bersyukur orang tuaku mengizinkanku melanjutkan pendidikanku.
Meski demikian, aku tetap harus bekerja untuk biaya hidup selama tinggal di Jogja. Aku bekerja sebagai pelayan di sebuah toko buku tiap sore hari. Gaji yang kuperoleh dapat untuk makan dan sebagian ditabung. Untuk membayar kost, orang tuaku yang membayarkannya. Aku senang meski hidupku serba pas-pasan, tapi orang tuaku selalu membekali dengan iman yang membuatku selalu tegar.
Pagi ini aku telah siap dengan pakaian olahragaku, sepatu kets di kakiku telah kutautkan. Baru kubuka pintu rumah kost kami, aku dikejutkan dengan panggilan seseorang yang tak biasa.
“Mas Arul…!”, serunya dari arah dalam.
“Eh Ilham, kamu nggak pulang kampung?”, kuhentikan langkahku menoleh ke belakang dan mendekati teman kost yang baru seminggu ini bergabung melengkapi keempat kamar di rumah kost kami.
“Ah nggak, Mas! Rumahku khan jauh!”, jawabnya. “Mas Arul mau lari pagi ya? Aku boleh ikut?”.
“Boleh! Aku malah seneng. Jadi mulai sekarang, aku punya temen kari pagi!”
Sejak saat itu, aku dan Ilham lari pagi bersama setiap Minggu. Kami jadi lebih akrab walaupun beda fakultas. Kami memang kuliah di kampus yang sama, tapi aku di Fakultas Ekonomi sedang Ilham di Fakultas Teknik.
Meski kami tinggal dalam satu rumah kost, aku tidak tahu banyak tentang Ilham. Setahuku, Ilham itu bernama lengkap Ilham Fajrian. Ia berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Kurasa, ia berasal dari keluarga yang berada. Namun itu hanya perkiraanku saja karena kulihat barang-barang yang ia kenakan adalah barang-barang mahal.
Termasuk gaya hidupnya yang seperti orang kaya. Ia nampak kaku dengan pekerjaannya seperti beres-beres kamar, mencuci baju dan kegiatan rumah lainnya. Ia seperti tak terbiasa dengan aktifitas itu. Juga dengan transportasinya. Ia memang tidak membawa mobil atau motor mewah ke rumah kost, tapi kemana-mana ia selalu naik taksi.
Bila tak ada taksi yang lewat, ia menelfon biro transportasi untuk mengantarkannya. Selebihnya, aku belum tahu karena Ilham orangnya sangat tertutup. Ia tak suka bicara dan hampir tak pernah menceritakan keluarganya ataupun masa lalunya. Bila ditanya tentang hal itu, ia lebih sering menghindar.
Kegiatan-kegiatan Ilham pun menunjukkan hal yang beda di antara kami. Tiap pagi, kulihat Ilham keluar kamar, berolahraga lalu mandi dan pergi ke kampus. Lain halnya denganku yang harus membersihkan kamar, mencuci pakaian baru bisa mandi dan berangkat ke kampus sambil membeli makan di angkringan depan gang.
Malam hari sepulangku dari bekerja, kamar Ilham telah terkunci meski lampunya masih menyala. Bahkan, hampir tak pernah kulihat lampu di kamarnya dimatikan pada malam hari.
Anehnya lagi, ia tak pernah duduk-duduk bersama kami di waktu-waktu longgar. Serasa waktu yang dimilikinya semua hanya dihabiskan di dua tempat, di kampus dan kamarnya.
Mulanya, kelakuan Ilham itu tidak kami hiraukan. Kami juga masih menganggapnya anak baru sehingga belum terbiasa dengan lingkungan sosial yang baru.Namun, lama-lama kamipun tak sabar menunggu Ilham membaur bersama. Ilham seperti tak mau bergaul dengan kami. Ia selalu menghabiskan waktu di kamarnya yang selalu terkunci. Ia hanya keluar untuk mandi, makan, ke kampus yang semuanya ia lakukan sendiri. Kecuali setiap Minggu pagi ia selalu lari pagi bersamaku. Masih seperti pertama kali kita lari pagi bersama, ia selalu diam.
Sebulan sudah Ilham tinggal bersama-sama dengan kami, tetapi kelakuannya masih belum berubah. Hipotesis kami mengatakan Ilham memang orang yang pendiam atau bahkan sangat pendiam sehingga sulit beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Akhirnya, aku dan dua penghuni kost lainnya sepakat untuk mengajak Ilham agar mau membuka diri dengan kami. Kami membuat berbagai rencana.
Rencana pertama adalah mengajak Ilham ke toko buku. Melihat Ilham yang selalu asyik dengan buku-bukunya di kamar, kami menduga pasti tidak menolak untuk diajak ke toko buku. Siang itu, aku bersama Tito dan Aldi sengaja pulang ke kost setelah kuliah. Kami berniat mengajak Ilham ke toko buku tempatku bekerja, kebetulan Tito dan Aldi juga ingin membeli buku.
“Ilham....!”, panggilku seraya mengetuk pintu kamar Ilham. Ketukanku itu telah kuulang tiga kali, tapi masih saja tak ada respon dari dalam.
“Apa mungkin Ilham belum pulang?”, kata Tito menduga.
“Tapi, masa jam segini belum pulan?”, Aldi menyanggah.
Ketika kami masih bingung bertiga tiba-tiba Ilham datang, “Rame-rame pada mau kemana, Mas?”
“Eh, iya! Ini, kami mau ke toko buku!” jawabku.

No comments:

Post a Comment