Kisah Pekerja Palestina di Israel

Penulis asal Israel yang datang ke Ubud Writers & Readers Festival 2010, Etgar Keret, mengatakan, ketika ia hadir di sebuah festival sastra, ia sering didudukkan di sebuah forum bersama dengan seorang penulis asal Palestina. "Seperti mud-hugging, semacam bergulat di lumpur, tontonan bahwa kami bisa duduk bersama di satu meja dan bisa tidak membunuh satu sama lain."


Pada sebuah forum di UWRF 2010, Keret (baca: wawancara Yahoo! dengan Keret) didudukkan di satu forum bersama dengan penulis dan arsitek asal Palestina Suad Amiry. Dua-duanya sebenarnya sosok yang humoris, dengan cara mereka masing-masing, tetapi entah kenapa, pada akhirnya keduanya berujung terlibat dalam perdebatan agak panas tentang Israel-Palestina.

Di Tut Mak, Ubud, Amiry meluncurkan sebuah buku tentang para pria muda Palestina yang menyusup masuk ke Israel demi mendapat pekerjaan. Bukunya berjudul Nothing to Lose But Your Life.

Lewat buku-bukunya, Amiry bercerita tentang seperti apa kehidupan di Palestina, terutama dari sisi kehidupan sehari-hari. Dari mulai tentang ibu mertuanya (lewat Sharon and My Mother-in-Law), anjing peliharaannya, sampai tentang pertemuannya dengan Murad, pemuda tukang kebun yang kemudian menjadi subjek dalam Nothing to Lose.

"Murad mengerjakan taman di rumah saya di Ramallah. Saya akan menyediakan kopi dan makanan untuknya. Tapi ketika saya keluar lagi, dia sama sekali belum meminumnya. Lalu saya tanya, "Murad, kenapa kamu tidak minum?" Dan dia menjawab, "Anda tidak kenal saya. Julukan saya adalah Buldozer, karena saya suka bekerja"."

Dari sosok Murad-lah kemudian Amiry mengetahui tentang nasib 150 ribu warga Palestina yang tiba-tiba kehilangan pekerjaan karena pada 2000, PM Israel Ariel Sharon memutuskan bahwa dia tidak lagi menginginkan pekerja Palestina ada di Israel. Sementara selama 44 tahun, ekonomi di Tepi Barat (West Bank) tergantung pada Israel. Murad yang baru berusia 21, ternyata sudah bekerja selama tujuh tahun di Israel.

"Selama ini saya tinggal di Palestina, dan aktif secara politis (Amiry adalah aktivis PLO dan pernah terlibat dalam meja negosiasi perundingan damai), saya sama sekali tidak mengetahui apa saja yang dialami oleh para pekerja ini. Bayangkan saja, satu pagi Anda bangun dan sadar bahwa Anda tidak punya lagi pekerjaan."

Dalam hitungan Amiry, satu pencari nafkah di Palestina akan memberi makan 4-5 orang dalam keluarga. Sehingga, 150 ribu pekerja, berarti 600 ribu-750 ribu orang yang kehilangan penghidupan.

Menurut dia, konflik Israel-Palestina hanya bersumber pada satu kata. Bukan tentang agama atau kebangsaan, tapi tentang tanah. "Apakah ada lebih banyak tanah yang diambil dari Anda hari ini?

Awalnya, Amiry ingin menulis buku tentang pendirian tembok pemisah dari sudut pandang binatang. Tembok semen setinggi 8 meter didirikan bukan di perbatasan, tapi mengambil 15% tanah Palestina. Sekitar 1,5 juta pohon zaitun pun dicabut, yang berarti 12% dari seluruh pohon zaitun di Palestina. Sementara, petani-petani Palestina hidup dari pohon zaitun. Sebagai seorang arsitek, Amiry menyayangkan hancurnya situs-situs arkeologi akibat pembangunan tembok.

Penelitian Amiry tentang perilaku binatang untuk bukunya menjadi terlalu rumit, sampai kemudian ia bertemu Murad. Dari Murad ia tahu, banyak pemuda pekerja usia 21-35 yang berjalan kaki ke Israel dan mencoba mencari pekerjaan.

Ia kemudian memutuskan untuk bergabung dengan para pekerja ini. Risiko yang ditempuhnya tidak kecil, dari mulai ditahan, sampai tertembak saat berusaha menyeberang.

"Jarak 35 kilometer, yang normalnya bisa ditempuh dalam 20 menit, atau setengah jam, akhirnya harus saya lalui bersama Murad sampai 18 jam. Kami berjalan dan menunggu, menuju desa Petah Tikva di Israel, tempat terletaknya banyak pabrik-pabrik."

Dari desa tempat Murad berasal, Amiry berangkat bersama Murad dan saudara laki-laki Murad, Mohammad. "Ibu Murad, saat menyiapkan makanan untuk kami melihat saya seperti, siapa wanita gila ini?"

Kebanyakan dari para pekerja itu berusia antara 21-35 tahun. Dan semuanya pria. Maka Amiry pun berpakaian seperti pria. "Dan Anda bisa lihat sendiri, bagian apa yang paling sulit membuat saya terlihat seperti pria," kata Amiry sambil tertawa, ia menarik tepian cardigan panjangnya untuk menutupi dada.

Ada 24 orang yang berangkat dari desa Murad. "Di bis, mereka semua melihat ke arah saya dan mengolok-olok. Walaupun saya sudah pakai jaket dan topi, tidak sulit melihat "siapa pekerja baru ini?"," kata Amiry. "Tetapi tetap mereka bercerita pada saya tentang kisah-kisah mereka."

Setelah mereka turun dari bis, perjalanan mereka berlanjut dengan dua jam jalan kaki melewati bebukitan pohon zaitun. Tiba-tiba ada teriakan, dan orang berlarian. Ternyata ada sebuah jip Israel. Baru di sinilah Amiry merasakan ketakutan.

Awalnya mereka menunggu sampai jip itu pergi. Di bebukitan itu, ada 300-400 pekerja ilegal Palestina yang mencoba menyusup ke Israel. Akhirnya semuanya memutuskan untuk nekad menerjang masuk. "Itu kan hanya satu jip. Seberapa banyak yang bisa mereka tahan?" Amiry menirukan Murad.

Ternyata betul, Amiry, Mohammad, dan Murad lolos masuk. Dan dari 24 pekerja yang berusaha masuk, hanya empat yang berhasil sampai di Israel.

Yang membuat Amiry tertegun adalah, betapa para pemuda pekerja ini merasa begitu nyaman berada di Israel. Mereka berbicara Hebrew dengan baik, mereka mengenali budaya dan musiknya, dan mereka mengenali tempat-tempatnya.

Dari situ Amiry berkesimpulan, "Jembatan sebenarnya buat perdamaian adalah para pekerja ini. Sama seperti, siapa yang tahu Jerman lebih baik dari 4 juta orang Turki yang ada di sana? Siapa yang tahu Amerika lebih baik daripada pekerja-pekerja Meksiko yang menyusup masuk ke sana?"

Kisah yang diangkat Amiry, dan cerita-cerita Etgar Keret menunjukkan adanya realita lain dari Palestina dan Israel yang jarang tampil di media internasional. Bahkan, kisah Murad, seorang pekerja ilegal, bisa jadi relevan juga buat Indonesia dengan banyaknya pekerja migran kita yang tersebar di berbagai belahan dunia, berupaya menembus keasingan demi mencari penghidupan.

4 comments: